CLICK HERE FOR FREE BLOG LAYOUTS, LINK BUTTONS AND MORE! »

Kamis, 27 Desember 2012

4 Bulan yang Lalu


Sudah 4 bulan berlalu. Masih saja Ayah selalu menanyakan hal yang sama tiap aku pulang ke rumah.
  “Masih sama si guru itu?”. Aku menggeleng pelan, malas.
 “Ah, bohong..” katanya tak percaya. Kali ini aku harus bersumpah untuk meyakinkan beliau. Aku sebut nama Tuhan sambil mengacungkan 2 jariku. Ayah lalu bilang “awas”. Aku tersenyum, Ayah tersenyum. Dan aku yakin ayah tak sepenuhnya percaya bahwa aku sudah “kembali”.
            4 bulan yang lalu, mataku bengkak. Efek semalaman menangis dan tidur menjelang subuh. Aku tak berani keluar kamar karena takut seisi rumah bertanya kenapa aku bisa jadi seperti itu. Aku memutuskan melanjutkan tidur saja sampai siang, tapi rencana ku gagal sesaat sebelum aku hendak melakukannya. Ayah mengetuk pintu. Aku pura-pura tak mendengar. Ayah mengetuk lagi dengan lebih keras dan cepat.
            “Anak gadis ga boleh bangun siang, jodohnya ntar dipatok tetangga!”
            “Apa sih yah?!”
            “Kamu gak solat Neng?”
            “ Lagi engga yah… ini masih ngantuk. Pengen tidur lagi. Oke?” kataku dengan nada meminta kesepakatan.
            “Bangun lah…kebiasaan nantinya, ayo buka! Mandi sana.”
            Aku tak bisa membantah Ayah. Tapi aku tak berani keluar dan menampakkan diri pada Ayah dengan keadaan seperti ini. Ku tarik sarung terdekat yang biasa ku pakai tidur, lalu ku pakai menutupi wajahku hingga tampak bibirku saja. Aku membuka pintu “Iya ini udah…oke?”. Ayah membuka sarungku, susah payah aku pertahankan agar mataku tak tampak olehnya, tapi percuma. Ayah yang mantan atlet renang itu tenaganya memang besar. Aku kalah. Ayah melihat mataku,lalu matanya seperti berkata : Ada apa? Ayo cerita.
            Seusai mandi, ayah mengajakku ngobrol di beranda rumah. Aku cukup bangga pada beranda rumahku. Suasananya nyaman, menenangkan. Banyak pot-pot berdaun hijau berjajar membentuk pola-pola unik kesukaan Ibu. Sering sekali aku mengajak teman-temanku yang berkunjung untuk mengobrol di sini. Aku duduk disebelah ayah sambil membawa secangkir teh untuknya.
            Aku diam, aku bukan orang yang suka membuka pembicaraan terlebih dahulu, apalagi untuk urusan ini. Aku takut, malas bercerita pula. Karena dengan bercerita aku harus mengingat, dan mengingat apa yang membuatku nyeri adalah suatu penyiksaan tersendiri.
Aku membiarkan Ayah membuatku bercerita dengan caranya. Tidak langsung ke pokok cerita, mengalir saja. Sampai pada titik dimana aku tidak bisa lagi menjawab pertanyaan Ayah. Tenggorokankku tercekat. Seperti ada sesuatu yang membuat lidahku kelu dan bibirku tidak bisa bergerak. Tanganku saling mengepal resah dan mataku berusaha keras membendung desakan air mata yang meminta dikeluarkan dari pembuluhnya.
“Ya..aa… Udahan…Pu..Putus” jawabku parau.
“yang mutusin?” Tanya Ayah penasaran.
“Dia” jawabku mantap.
“bagus.”
“Ko bagus Yah? Harusnya kan cewe yang mutusin.”
“kata siapa harus seperti itu?”
“ya kesannya kan kaya aku yang salah, dia yang bener”
“ memang kamu ngerasa bener?”
“ya engga juga sih, tapi kan..tapi..ah, ya gitu deh Yah susah! Dia tuh egois banget, sepihak banget!”
“ Udah tau dia egois, masih aja ditangisin. Dengan dia membuat keputusan yang seperti itu artinya kamu sudah terbebas dari segala apa yang membuat kamu menderita. Coba kalo nungguin kamu yang mutusin, mau kapan putusnya? Mau kapan udahan nangis tiap minggunya? Emangnya Ayah ga tahu kamu tuh kadang nangis, kadang ketawa-ketawa sendiri. Itu ga baik Neng.”
“Dia ko bisa segampang itu, setega itu, secepat itu mutusin aku. Aku ga habis pikir aja Yah. Aku tuh bodoh banget!”
“Tuh, kamu ngerasa sakit itu bukan karena dianya, tapi karena nyeselin keputusan-keputusan yang udah kamu ambil buat “bela-bela-in” dia yang pada akhirnya nyakitin kamu.”
Ya, saat itu aku diam. Diam. Diam. Diam. Lalu, perlahan aku menangis, pelan. Makin lama makin menjadi. Ayah memelukku. “ Jika memang menyakitkan, bukan dia orangnya Neng” bisikknya menenangkan.
Ya, sudah 4 bulan berlalu. Sejak saat itu aku berusaha mengalihkan perhatian dengan berbagai macam kesibukkan. Acara himpunan, acara social, ngajar, dan banyak lagi. Aku hanya ingin bergerak. Walaupun aku tak tahu aku bergerak untuk apa, untuk siapa. Aku tidak tahu aku sekarang berlari untuk siapa, berlari kemana. Aku hanya ingin terlihat bergerak. Walau tak tahu bergerak kemana. Ya, Ayah menangkap hal itu. Menangkap kelimpungan jiwaku akan arah.

Minggu, 17 Juni 2012

Dari Kertas Usang

Katanya,
Muasal cinta adalah keheningan.
Bukan karena cinta bernaung di dalam naluri alami yang mustahil untuk dijelaskan,
melainkan karena cinta terawat dalam perbedaan yang tidak senantiasa dapat diekspresikan.
Karena tidak semua hal dapat tertuturkan, hening yang meletak antara aku dan kamu tidak selalu perlu diatasi dengan kata.

Di satu sisi, perbedaan berarti aku perlu berhening demi mendengarkan orang lain.
Di sisi lain, heningku adalah situasi berjaga.
Aku berjaga karena selalu saja aku yang berkekurangan.
Aku tidak selalu mampu mencintai segala sesuatu.
Seperti, aku juga tidak mungkin mengetahui dan mengerti sepenuhnya orang lain sebagai yang lain.

Aku semata berjaga biar aku tetap toleran.
Tetapi aku juga berjaga agar toleranku punya batas.
Aku berjaga agar tidak toleran terhadap segala tindakan yang menyengsarakan orang lain.
Termasuk tidak toleran terhadap politik perbedaan yang menyingkirlan setiap kemungkinan untuk berdialog.

#kertasusang, entah punya siapa. Aku tulis ulang dengan sedikit perubahan.

Yang Tidak Pernah Bisa Berkata IYA atau TIDAK

Kepada kamu yang tidak pernah berkata 'iya' atau 'tidak',
Kadang aku bingung dalam mengambil keputusan.
Tidak semua bisa aku tau secara otomatis.
Tidak semua yang kamu anggap jelas itu jelas juga buatku.
Tidak semua yang kamu pahami itu aku pahami juga.
Maka dari itu aku bertanya, dan hanya mengharapkan kata 'iya' atau 'tidak'

Karena kamu yang tidak pernah berkata 'iya' atau 'tidak',
Aku berkali salah mengambil keputusan.
Aku berkali salah dalam berkesimpulan.
Aku berkali bertentangan dengan hatiku.
Aku berkali menyesal, berkali menangis.

Karena kamu yang tidak pernah berkata 'iya' atau 'tidak',
Aku selalu bertanya,
Tak lelah bertanya.
Walau diakhir banyak sekali bentuk pengabaian yang ku dapatkan. Tapi nyatanya aku tetap bertanya kan?

Kepada kamu yang tidak pernah berkata 'iya' atau 'tidak',
Aku butuh persetujuan atau penolakanmu untuk melangkah,
Karena aku tidak selalu tau isi hati dan pemikiranmu itu.
Karena satu pikiran tak harus selalu sepemikiran.
Karena setujuan itu tidak harus satu pandangan.
Karena 'kita' itu tidak hanya 1 orang, kita itu aku dan kamu.

Kepada kamu yang tidak pernah berkata 'iya' atau 'tidak',
Bisakah kau akhiri segala bentuk kode mu yang belum tentu aku mengerti?
Bisakah berterus terang saja tanpa bermain kata denganku?
Bisakah?

Senin, 11 Juni 2012

Hanya berhenti, belum melepaskan

Aku berhenti bukan berarti sudah bisa melepaskan.

El, aku sudah berhenti dari hobbyku yang dulu untuk selalu mengikuti setiap gerak dan langkahmu.
Berhenti membuka-buka kenangan tentang kita.
Berhenti mencari kabarmu diam-diam lewat jejaring sosial.
Berhenti mendoakanmu untuk menjadi pendamping hidupku kelak.
Berhenti menceritakan tentang kamu kepada teman-teman dekat ku.
Berhenti mencari tahu kamu sedang bersama siapa dan dimana sekarang.
Totally, aku benar-benar berhenti.

Aku berhenti dari kecanduan tentangmu.
Hanya saja aku belum bisa melepaskan.
Belum bisa mengikhlaskan.
Belum bisa melihat kamu lagi.
Belum bisa tersenyum di depan kamu.
Belum bisa menerima segala bentuk pengabaianmu, dulu.
Masih belum bisa.

Selasa, 29 Mei 2012

Mengertikah Kamu?

Mengertikah kamu, aku seperti ini karena kamu diam, karena kamu tak memberi kepastian.
Taukah kamu bagaimana takutnya akau kamu tinggalkan lagi? Taukah kamu putus asanya aku seperti apa?
Bicaralah, agar tak ada lagi kesalahpahaman.
Yakinkanlah, agar aku mau untuk tetap bertahan.
Sudahlah, semuanya sudah terjadi.
Kau membuang cincinnya kan? Sudahlah, terserah. Aku lelah.

Selasa, 22 Mei 2012

Lelahku Hilang

Wah, hebat. Pesonanya langsung saja masuk ke lapisan bawah kulit jangatku. Matanya meneduhkan, apalagi senyumnya. Benang-benang kusut yang dari kemarin membelit otot-otot otakku seketika lenyap. Melihatnya seperti ini saja sudah membuatku merasa takjub. Seolah-olah aku diberi energi berkilo-kilo Joule, rasa lelah dan penat tersembunyi entah dimana, yang pasti bukan di wajah dan pikiranku. Entah, mengalir begitu saja. 

Melihat tawanya, aku terhipnotis, seolah dia cerminanku. Dia tersenyum aku pun ikut tersenyum. Bola mata dan alisnya bergerak, dengan refleks ku ikuti geraknya. Ah, dia memang menawan. Apalagi bibirnya yang kecil dan tipis itu, ingin sekali aku mengecupnya. Rambutnya yang ikal dan kulitnya yang putih bersih itu terlihat bersinar saja dimataku. Menikmati pemandangan itu membuatku tak ingin beranjak. Aku semakin jatuh cinta.

Tiba-tiba saja ada tangan yang memegang bahuku lalu berbisik lembut di telingaku,
"Sudah Pulang? Sedang apa berdiri di sini? Ayo masuk. Lihat Bayu di situ, sudah ku mandikan. Dia menanyakanmu Bu"

"Wah Bayu pasti sudah wangi sekali. Maaf ya Yah, tadi ada sedikit masalah di kantor, jadi telat deh..."
Lelaki yang berdiri dihadapanku itu tersenyum, mengingatkanku pada senyum Bayu, lalu dia mendekat, menatap mataku, merangkul pinggangku dan mengecup keningku. "Tak apa, Ibu terlihat lelah. Mandilah dulu, lalu kita makan bersama". Aku tersenyum saja membalas tatapan hangatnya. Aku semakin cinta, semakin jatuh cinta.


#cerita 4 tahun lagi, semoga, amin :)

Minggu, 20 Mei 2012

Kesakitanku MenggugatMu.

Tuhan yang baik, aku hanya tidak habis pikir. Apa sebenarnya yang Kau rencanakan? Apa yang membuatMu memutuskan semuanya harus terjadi seperti ini? Apa kau tak kasihan padaku?

Tuhan yang Maha segalanya, kemarin aku sudah cukup tenang tanpa dia. Aku sudah belajar bebas dari bayangnya. Aku sangat berusaha untuk hal itu. Tidakkah Kau melihat itu?

Tuhan yang sangat aku puja, aku tidak meragukan segala rencanamu, tapi apakah tak ada sedikit "upah" atas upaya yang kulakukan untuk menjauh dari dia? kenapa Kau pertemukan kami lagi Tuhan?

Tuhan, jika memang hidupku dan segalanya tentang aku harus terpusat kearahnya, mengapa harus ada rasa sakit yang luar biasa ini atas segala bentuk pengabaiannya? Dia hanya mempermainkan aku Tuhan, berkali-kali. Sudah cukup Tuhan, Ku mohon....

Tuhan, sudah ku coba menutup mata ini atas apapun yang dia lakukan, dengan siapa dia, dimanapun dia. Rasa itu memang tidak langsung  hilang seketika, pasti perlahan-lahan. Dan Kau tahu? Aku sungguh berusaha benar membuang serpihan-serpihan kesakitan itu. Melepaskan yang tak mau kulepas itu butuh pengorbanan yang besar. Apakah kau tak melihat itu?

Tuhan, cara pikirku yang sedang berkembang dan cara pikirnya yang sudah rigid itu tidak bisa disatukan. Kami sama-sama memberi beban satu sama lain. Memaksakan hatinya yang tidak pernah bisa untuk aku itu suatu pelecehan hak azasi. Pantaskah aku berbicara padaMu tentang hak azasi yang sebenaranya telah kau ciptakan sendiri? Tuhan, ampuni aku, maafkan aku atas segala kelancangan hatiku ini.

Tuhan, aku ingin bahagia. Apakah Kau pikir bahagiaku adalah dengannya? Aku berharap seperti itu. Tapi dia tidak Tuhan, dia tidak berpikir seperti itu. Apa yang harus kulakukan?

Tuhan, kebuntuan otakku saat ini membuatku malas bercerita tentang masa depan, terlalu malas untuk percaya. Aku putus asa diantara ketidakpastian ini. Ingin aku menyentuhnya, tapi tetap tak bisa. Dia selalu menghindar. Dan Kau tetap diam saja Tuhan. Lihat aku, meringkuk dalam kegalauan, menjerit sesakit-sakitnya.

Bertahan? Apakah itu suatu kebenaran? Apakah itu suatu hal yang berguna? Jika sia-sia, izinkan aku berusaha sekali lagi untuk melupakan dan melepaskan semua kesakitan ini Tuhan. Tapi Tuhan, jangan bilang lagi aku akan dipertemukan dengan dia atau orang yang seperti dia. Lukaku akan semakin dalam.

Tuhan, aku menggugatmu atas hal ini. Maafkan aku tuhan, aku Hambamu yang tak tahu diri, Hambamu yang lancang, Hambamu yang selalu takut dengan kesakitan.
Aku menuntutmu untuk menyembuhkan pesakitanku. Aku menggugatMu.


Selasa, 15 Mei 2012

Sayang, Aku Tidak Suka.

Sayang, aku tak senang jika kamu memakai kalimat yang sama saat berbicara padaku. Kalimat yang sama seperti yang sering kamu katakan pada semua selir-selirmu. Culik? ah..itu kata obralanmu. Bisakah kau mengganti kata "culik" yang artinya "jalan" dengan kalimat baru yang hanya untukku? aku bukan aku yang dulu sayang, bukan aku yang dengan mudah kamu tinggalkan. Aku tidak akan bergantung lagi padamu. Sehingga saat kamu pergi lagi aku tak akan meraung dan meratap seperti dulu. Aku adalah aku yang sekarang.

Sayang, semoga apa yang kamu lakukan untuk masa depanmu dipermudah. Dengan siapa kamu pada akhirnya, aku berharap kamu kuat dan bahagia. Dan jika itu denganku, aku akan menggenggam erat tanganmu, melepaskan semua bebanmu itu. Aku tau kamu bukan yang terbaik, begitupun sebaliknya. Tapi tetap saja aku akan meraihmu, mewujudkan semua mimpi aku dan kamu. Biar cinta yang sempurnakan kita, biar cinta yang dewasakan kita. Aku rindu kamu.

Minggu, 06 Mei 2012

Ter-Jlebbb

Lalallalalla.....
My shattered dreams and broken
Heart are mending on the shelf.
I saw you holding hands standing so close to someone else.
Now I sit all alone, wishing all my feeling was gone.
I'd give my best to you
Nothing for me to do
But have one last cry.

One last cry
Before I leave it all behind
I've gotta put you out of my mind,this time
Stop living a lie.
I guess I'm down to one last cry.

Cry

I was here,you were there.
Guess we never could agree.
While the sun shines on you,
I need some love to rain on me.
Still, I sit all alone,
Wishing all my feelings were gone.
Gotta get over you.
Nothing for me to do
But have one last cry.

I know I gotta be strong,
But 'round me
Life goes on and on and on, and on
I'm gonna dry my eyes
Right after I have my one last cry.

Lalalallala....




Maybe you're wondering
meaning of my attention toward you.
Bet you guessed
What was implicit in my movements
I am the fragments of your past stories
Who just want to know how you were.
I never mean to bother you
Disturb the tranquility of your life
Just not easy for me to forget you
And go away

Give a little time
I used to order
Breathe without you.......

Sabtu, 05 Mei 2012

Berhenti Di Kamu


Tiap aku mendengar suara kamu
Rasanya mau bilang iya
Maafkan kamu, terima kamu kembali                                 
Ya, ya,ya aku ingin sekali bilang iya, bilang bahwa aku masih sama seperti hatiku yang dulu, masih memiliki hal yang selalu akan baru dan satu rasa, -suka-, setiap melihat matamu, tak ada rasa yang lain. Lukaku dulu hilang sekejap, berganti dengan bunga-bunga dan petasan-petasan kecil yang memeriahkan kedatangan kamu lagi. Ingin aku maafkan..ingin aku kembali.

Aku tahu kamu sangat menyesal
Walaupun kamu tak menyebut namaku saat pertemuan singkat itu, rasanya aku sudah mendengar kamu memanggil aku dengan sangat keras dalam hatimu. Aku mendengarnya dari bisikan matamu itu, aku mendengar tak hanya namaku yang kau sebut. Ada satu kata yang samar-samar kulihat dari sorotmu yang kerap kau sembunyikan saat aku mengajakmu berceloteh. Rindu, ya walaupun terdengar samar, tapi aku masih bisa merasakannya sedikit. Maaf, hanya sedikit. Karena aku hanya mencurinya sedikit, tak ingin berlebih. Sesal? Ku rasa ada, kasihan? Juga ada. Takut? Banyak. Matamu banyak menunjukan rasa takut. Entah ketakutan apa, aku juga tidak mengerti.

Akupun juga tak sempurna
Ya, akupun tak sempurna, tak akan bisa menebak apa yang ada di balik kelopak matamu itu. Tak bisa mencuri hal yang lebih banyak lagi. Dan sikapmu yang dingin itu membuatku tidak nyaman. Pernah aku bilang, “tinggalin aja, pulang aja, sebentar lagi ini, pasti aku bisa ko sendirian”. Dan kamu hanya menggeleng. Terpaksakah kamu? Sudahlah…
Jalan pikiranmu itu, kadang membuatku putus asa, namun tetap saja pada akhirnya aku ingin mendalami, menyadari banyak logika-logika yang tidak terprediksi sebelumnya ada di pikiranmu.
Aku tak berani lagi mencuri-curi informasi dari matamu. Aku ketakutan. Ya, sangat ketakutan saat itu. Takut kamu membongkar semua isi hatiku lewat mataku yang tidak bisa bohong ini . Pernahkah kamu dengar bahwa mata adalah cerminan hati? Aku percaya, walaupun kamu mengelak, aku akan mengikuti caramu menyembunyikannya, walau sebenarnya aku sudah tahu, aku akan berpura-pura tidak tahu.
Aku putuskan untuk tidak lagi menatap mata saat mengobrol denganmu. Seperti orang bodoh saat itu, tak ada topik yang cocok untuk dibicarakan. Kita mematung dalam kerumunan orang banyak.

Cerita kita tiada yang bisa gantikan
Hhhhhh….ya…dari sisi aku, cerita kita tak akan ada yang bisa gantikan, tak akan ada lagi yang bisa seperti kamu. Kamu hal pertama, rasa pertama, dan harapan pertama sejak aku menginjak remaja. Aku mungkin tak ada artinya dimata kamu. Aku tak lebih dari daun yang jatuh dari pohon yang sempat kau bawa terbang dan kau tinggalkan ditempat antah berantah, yang memaksaku untuk jadi seperti sekarang ini. Spekulasiku tentang kamu terlalu tinggi, dan banyak perkiraanku tentang kamu yang meleset. Aku tau pada akhirnya kecewa yang akan aku dapat. Aku sangat menyadari.

Namun ada satu yang terjadi
Hatiku cinta kamu tapi
Tak bisa mau kembali lagi, ulang semua
Tapi, sesenang apapun aku saat pertemuan itu, aku harus kembali lagi melihat posisi aku yang sekarang ini. Aku sangat menyadari. Setelah kemarau memberi jeda panjang, anginku tak lagi kamu, hujanku tak lagi hujanmu, tanahku tak lagi daerahmu. Aku tidak tahu bagaimana rasanya terbang terbawa angin bebas lepas seperti dulu. Itu dari sisi aku.
Tak bisa, tak bisa mau kembali lagi. Karena takut tak bisa merasakan ketenangan seperti dulu, terlalu takut kamu pergi lagi menyapu dedaunan yang lebih hijau itu. Aku tahu, sangat tahu. Aku tak lebih dari daun tua, tak hijau semerona mereka. Aku terlalu takut. Jika kamu lebih menemukan jati diri dengan tidak bersamaku, bukankah itu akan lebih baik? Jika kamu tidak menemukan kenyamanan dan kepuasan saat dengan aku, semuanya akan sia-sia. Kamu baik, aku juga akan baik walau akan berat, tapi saat aku mengingat bahwa kamu baik-baik saja, aku berharap akan kuat. Ah……

Aku tak mau lukai kamu
Aku menyayangi kamu, terlalu. Tak mau lukai, lebih ke tak ingin jadi bebanmu. Ini caraku menyayangimu. Kau mengerti kan maksud dari beban itu? Tak bisa dideskripsikan. Cuma kamu, aku, dan Tuhan yang tahu. 

Tubuhku butuh kamu
Tapi tak bisa rasa seperti dulu
Tubuhku, hatiku, otakku akan bekerja lebih keras dan bijaksana saat dekat denganmu, saat kamu ada disampingku member impuls positif yang membangun pribadi menjadi sosok yang lebih dewasa dari sebelumnya. Rasa itu masih ada, dan akan selalu ada sampai tua mungkin, tapi tak bisa seistimewa dulu. Tanpamu, awalnya seperti kehilangan kedua tangan dan akal, tak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa melihat dan berjalan tak tentu arah, dan itu karena kamu. Aku tidak menyalahkanmu atas hal ini. Hanya sekedar menegaskan, bahwa dulu, tidak ada hal yang membuat aku seperti itu selain kamu. Bukan karena orang lain, karena kamu. Aku hanya tertuju padamu, aku setia. Walaupun aku bukan bagian dari hatimu, bukan bagian dari pikiranmu, aku akan terima.

Rusak sudah aku
Aku rusak, patah, parah. Ya, jelas...sangat rusak saat kamu pergi. Pernah kamu kembali lagi dimusim gugur itu, dan harapku masih besar pada saat itu. Aku ingin lagi kau ajak terbang, namun sayang, kamu ulangi tinggalkan aku. Aku sudah tidak bisa menangis. Untuk apa? Karena rusaknya aku? hatiku? Apakah dengan menangis akan membuatmu kembali? Dan aku kembali belajar meski belum bisa tersenyum melihatmu terbang dengan daun-daun itu di musim yang sama. Apapun alasanmu saat meninggalkanku aku malas mendengarnya. Untuk kebaikan aku? kebaikan yang mana? Apakah kamu bisa menjamin dengan aku tidak bersama kamu aku akan bahagia, oh, ayolah, kamu bukan Tuhan.

Kalau ku ingat-ingat lagi sayang
Hatiku berhenti di kamu
Dengan semua yang sudah kita alami bersama, tak salah kan kalau aku bilang aku sudah stuck in you. Senyummu, kebaikanmu, matamu, sentuhmu seperti udara.  Susah sekali aku mengganti peranmu sebagai udara. Aku mati dalam hidup. Aku hidup dalam mati.
Aku selalu membandingkan segala sesuatu hal yang baru dengan kamu. Jika tak seperti kamu, aku tinggalkan. Pembodohan kan? Pembodohan untuk pembelajaran. Belajar untuk menyadari tak akan ada yang sama di dunia ini. Tak ada yang sama, tak ada yang selamanya. Aku beruntung kau tak pernah berkata selamanya. Karena selamanya adalah sesuatu pembodohan. Di dunia ini tak ada yang selamanya. Dunia ini fana, musnah, roboh, tak kekal. Termasuk janji. Aku merasa kamu pernah berjanji, dengan menyebut nama Tuhan yang sangat aku junjung tinggi. Ingatkah kamu? Saat senja itu? Lupa? Sudahlah, aku sudah menduganya.
Ya, hatiku berhenti di kamu.

Cerita kita tiada yang bisa gantikan
You still the best. Sekali lagi, aku katakan cerita kita tidak ada yang bisa gantikan, masa depanku, suamiku nanti, atau siapapun itu. Kamu akan ada di satu tempat, yang harus aku simpan dan jaga baik-baik. Pada akhirnya nanti, kita akan saling mengingat dalam heningnya jeda. Hanya mengingat ,walau mungkin masih ada rindu. Tapi tak untuk memiliki, hanya mengenang. Tak untuk dibicarkan hanya untuk dirasakan. Sesakit dan seburuk atau seindah apapun itu, aku sangat berterimaksih. Karena kamu, matipun aku akan berguna, untuk tanah yang kupijak dan ku tempati sekarang. Aku adalah daun tua yang kau tempatkan di antah berantah yang akan menunjukan arti dari sebuah keikhlasan yang kau ajarkan. Aku bangga, aku bahagia. Maka dari itu, berbahagialah kamu. Itu akan membantuku.

*ANJI-Berhenti di kamu, lagu yang menginspirasi tulisan ini.
            Jika memang kau terlahir hanya untukku, bawalah hatiku dan cepat kembali. Di dunia ini segala sesuatu akan saling tarik menarik, mengorbit pada takdirnya. Jika kita ditakdirkan bersama, benang setipis sutra pun tak akan bisa menghalangi.

Rabu, 07 Maret 2012

Galau Mu Berakhir Ais, dan Kami Belum


Hey kalian, taukah bahwa pada awalnya, aku merasa paling “tak baik” diantara kalian. Kamu, Ais, seorang yang lembut. Anak pertama dari 4 bersaudara menuntutmu untuk  berpikir dewasa dan mandiri. Selain itu kamu juga feminim, ramah pada siapa pun. Beda sekali dengan aku. Kamu tahu sendiri kan Ais aku seperti apa, seperti bidadari tanah yang kau katakana dulu. Begitupun kamu Re, kamu sangat supel, bisa melebur dengan orang-orang yang baru kamu kenal, mojang Subang yang ramah, walaupun agak "riweuh" tetap saja kamu terlihat sederhana. Oh, ya satu lagi. Kalian itu sangat sabar. Sangat penting bagiku untuk menggarisbawahinya. Toh, kalian memang benar-benar sangat  sabar, sampai-sampai aku panas sendiri kalau ada yang memang “harus ditegasi”. Tapi kalian dengan wajah santai masih saja tetap tersenyum dan bilang “sabar”. Oh… kadang aku bertanya sendiri, hati kalian itu terbuat dari apa sihhh??
Saat membayangkan kalian itu, aku lihat diriku sendiri. Bawel, ambisius, egois, moody, dan ya! Jutek. Berbanding terbalik sekali dengan kalian kan? Hahaha, aku saja tertawa sendiri. Bagaikan langit dan bumi. Persahabatan kita ini bisa dibilang aneh.
Diantara kalian akulah yang paling sering mengeluh. Mengeluhkan banyak hal. Mulai dari masalah keluargaku, masalah sekolah, juga maslaah hati. Untuk urusan hati, aku sangat amat benar-benar merasa bersalah pada Ais. Pasalnya ada yang aku sembunyikan dari dia. Aku tak berani berkata apapun soal yang satu itu. Bahkan sempat aku berbohong besar padanya kalau memang sudah kepepet karena hampir ketahuan. Tapi aku baru sadar, ingat San, Ais itu cerdas! Pasti bisa memprediksikan gerak-gerik kamu! Dan kalau sudah ingat hal itu,aku cuma bisa tutup mata dan tutup telinga. (Ais maafkan aku...).
Aku begitu terbuka pada kamu Re, mungkin karena pembawaannya yang sangat welcome sekali sehingga aku lebih terbuka padamu. Bukannya Ais tidak welcome, tapi ah..aku sudah sangat memenuhi kotak curhat Ais. Aku takut Ais bosan dengan semua bualanku. Apalagi tentang cinta. Oh, tidak tidak, sepertinya sudah cukup.…
Bercerita pada kamu Re, seperti bercerita pada kakak sendiri. Rasanya menenangkan. Kamu jarang menghakimi maupun menyalahkan. Kadang, kamu mengingatkan dengan cara halus, halus sekali sampai-sampai aku merasa seperti tidak ditegur atau diingatkan. Semuanya berjalan seperti air mengalir, lembut, tak ada paksaan. Dan selalu seperti itu Re, aku selalu senang banyak-banyak berceloteh denganmu. Tentang apapun itu,apapun.
Sekarang, umurku sudah menginjak kepala dua. Dua tahun lebih kita terpisah, menapaki jalan yang sudah Allah tentukan. Jalan yang kadang kita gerutui karena sangat melelahkan, jalan yang tentunya tak diinginkan. Tapi ingat lagi sahabat, kita telah memilih, oh bukan, tepatnya dipilihkan. Dan tentu pilihanNya adalah pilihan yang terbaik. Kita akan merasakannya! Entah sekarang, entah di masa depan. Dan aku selalu senang kita masih saling bertegur sapa. Saling menguatkan, saling mengingatkan, saling meluruskan dan memperbaharui niat seperti dulu.
Ais, kamu sekarang terlihat bahagia dengan kehidupan barumu itu, bersama orang yang lebih dari sekedar sahabat, bersama malaikat kecil yang akan selalu ada dalam tiap untaian doamu. Merasakan harmoni indah seorang ibu dan seorang istri. Ah… kau temukan juga kan bahagiamu itu? Galaumu berakhir. Tangis sedihmu sudah berganti menjadi seringai senyum bak pelangi sehabis hujan. Kamu akan bahagia. Akan selalu bahagia,itulah harapku.
Re, kita masih harus berjuang menemukan pangeran berkuda putih itu. Kamu lihat juga kan Ais seudah berongkang-ongkang kaki diatas sana. Kita masih harus berjalan, memantaskan diri untuk orang yang kita dambakan. Masih harus berbisik dalam doa-doa kepadaNya ketika rindu melanda. Bukan berarti Ais senang-senang saja disana, dia sudah punya tanggung jawab yang begitu besar dan Allah telah menganggap dia mampu. Kita juga masih “digodok” untuk bisa mampu seperti Ais! Semangat Re! kita harus sukses! Bereskan dulu tunggakkan pada orang tua, kuliah. Fokus dulu, sukses dulu.
*Semoga bisnismu yang sekarang lancar Re J
                Pada akhirnya, anak-anak sungai akan bermuara ke laut, pada akhirnya langkah-langkah kecil akan mencapai puncak gunung tertinggi. Yakin, harus yakin. Terbanglah para bidadari!

Rabu, 29 Februari 2012

Aku Mundur Saja


Aku mundur saja, aku menjauh saja, ternyata aku lelah juga. Ternyata aku tak baik.
                Banyak sekali  masalah yang sebenarnya bersumber dari aku. Ya, kalian tidak salah, aku yang mempersulit diri.
                Arfian, aku sempat sedih saat kamu membagikan pesan itu pada kami; aku, crobi, herdi, dan Elin. Ya, memang kita sudah lama sekali tak berkumpul bersama.
 ‘Rindu kekeluargaan seperti dulu’.
Itu katamu. Ya, aku akui kita banyak sekali disibukan dengan aktivitas masing-masing. Jadwal kuliah yang padat juga jadwal praktikum kita yang terpisah. Sepertinya jarak kita semakin melebar karena saat luang aku pakai untuk memeriksa jurnal-jurnal mahasiswa bimbinganku, kamu juga disibukan dengan kewajibanmu menemani kekasihmu. Dan disaat itu, karena terlalu focus pada urusan masing-masing kadang keegoisan kamu itu – yang selalu aku maklumi – seolah semakin menjadi dimataku. Aku jadi benci kamu, tak suka, dan marah lalu menjauh.
                Crobi, tahukah kamu? Dari awal semester kemarin aku merasa kamu menjauh. Aku dan Elin sempat bertanya, apakah kamu tak merasa nyaman bergaul bersama kami sehingga cenderung menjauh dan malas untuk bersama? Oh, iya. Aku akui hoby kita berbeda. Kamu K-lovers, dan kami biasa saja, malah arfian dan herdi tak menyukainya. Tapi ya sudahlah, dari awal kita kan sudah berjanji bahwa kita itu bukan geng yang harus jalan kemana pun bersama. Kita bukan anak SMA lagi kan? Hahaha, lucu ternyata. Tapi apa rasa ini salah? Cemburu. Perasaan itu semakin menjadi, kadang menjelma  ke arah tak suka jika kamu berkata, ‘dahh..aku duluan ya, ada urusan dulu sama mereka’. Aku dan Elin hanya saling bertatap dan dia langsung mengerti. Elin lalu menarik tanganku dan mengalihkan perhatianku. Berkoar tentang hal yang tak penting yang aku juga sebenarnya sudah tahu. Bagaimana rasanya jika teman yang sering bersama, lalu ada orang lain dan dia lebih tertarik dengan orang lain itu. Lalu aku dan yang lain seperi  ‘terabaikan’ . Enak kah? Sesuai pengalaman yang aku rasakan jawabannya TIDAK. Tapi ku ulangi lagi, ya sudahlah….
                Herdi, untukmu aku ingin menyampaikan banyak hal. Kamu, ku akui banyak perubahan ke arah yang lebih baik. Kamu jadi pengajar anak SD dan SMA sekarang. Nambah-nambah penghasilan kamu bilang. Dengan target 80 hari mencari ‘cita’ itu (walaupun entah bagaimana kelanjutannya) kamu menjelma menjadi pria yang lebih respect. Pacarmu juga sangat baik, terimakasih untuk tetap ingin bercerita denganku dan meminta nasehat ataupun pendapatku dalam urusan mu dengan dia. Tapi Her, kamu juga harus mempunyai prediksi sendiri. Kamu lebih mengenal dia dibanding aku. Dan kamu baik-baiklah dengan dia, kataku, dulu. Sepertinya kamu menurutinya. Kamu semakin asyik dengan pacarmu itu. Tak sempat lagi menemaniku ke warteg yang murah dan enak itu, atau sekedar menemani duduk-duduk di selasar kampus, tak sempat menghabiskan ransum yang aku timbun di kamarku itu, tak sempat lagi melawak garing saat aku sedang kesal, dan bahkan tak sempat lagi belajar bersama. Kamu sepertinya sibuk. Sangat sibuk.
                Elin, ku lihat akhir-akhir ini kamu berubah. Semakin tak respect. Entah apa yang sedang kamu pikirkan. Sebagai seorang yang lebih dekat denganmu aku merasa gagal. Gagal untuk tahu dan menyemangatimu ke arah yang lebih baik. Bukannya aku tak berusaha. Aku sering mengingatkanmu ‘sering-seringlah baca buku yang menunjang kuliah, kerjakan tugasmu, jangan ditunda-tunda’ atau memberikan perhatian dan mengingatkanmu pada kesehatan. Dan aku kesal saat kamu menyindirku dengan kata-kata yang menyerempet tentang daya tahan tubuhku yang lemah itu. YA! Aku memang rentan sakit, tapi aku tidak ingin kamu seperti aku. Bukankah penyakit bisa datang pada siapa saja? Apalagi kalau perut tak diisi, sekebal apapun seseorang kalau tetap saja tak memperhatikan gaya hidupnya suatu saat pasti akan tumbang juga. Aku hanya mengingatkan, itu saja. Kamu, yang sifatnya pendamai selalu saja bilang ‘netral’ pada saat aku sedang kesal pada seseorang. Ya, bagus. Kamu bisa jadi basa saat aku jadi asam. Bisa jadi asam saat aku jadi basa, saling menyeimbangkan. Seperti yang sudah aku bilang,kamu berubah akhir-akhir ini. Jadi pengabai. Saat aku cerita pun kamu cenderung diam dan hanya berkomentar oh…,em...,wah…. Kamu bukan Elin yang aku kenal, bukan lagi tepatnya. Aku mencoba untuk menganggapnya baik-baik saja. Tapi aku semakin merasa tak enak saat memaksakan kehendakku, saat ingin menyampaikan keinginanku, saat ingin bercerita…..Lalu aku memilih diam, aku lebih memilih “menutup mata”.
*****
 Hey kalian, saat-saat kuliah pun –kadang- tempat duduk kita berjauhan, aku sering telat masuk kelas karena  terlalu lelah dengan aktivitas sebagai asma (asisten mahasiswa)dan kalian tak menyisakan tempat khusus yang biasanya kalian siapkan. Atau aku sendiri yang  memilih menjauh dari kalian karena aku sedang sensi.
Untuk Arfian dan Herdi, kalian jangan berpikir aku cemburu pada kalian karena telah mempunyai kekasih. Tentu tidak, bukannya dulu aku yang mendukung kalian dan setuju kalian menjalin  kasih dengan pilihan kalian itu? Aku hanya merasa kesepian.  Ya, seperti itu, tidak ada lagi yang merecoki aku lagi. Memang damai hidup ini setelah kalian berhenti merecokiku. Tapi ada saatnya aku merasa butuh kalian. Butuh teman, dan kalian tak ada. Hey! Saat aku menulis kalimat ini tiba-tiba mataku panas! aku menangis!
Aku tahu, semua ini hanya dari sudut pandangku. Kalian telah nyaman dengan posisi kalian sekarang, dengan tidak selalu saling bersama seperti dulu mungkin lebih baik. Mungkin juga aku yang salah, terlalu egois keras kepala dan hanya melihat dari dalam kotak. Tapi inilah pemahaman mataku yang melihat dengan mata terbuka dan kadang dengan mata tertutup untuk merasakannya dengan hati. Ah, terlalu banyak yang aku ingin katakan sampai-sampai aku tidak bisa lagi menulisnya. Terlalu malas untuk mengingat. Terlalu malas untuk menceritakannya.
Ya, aku lelah. Percaya itu ternyata susah. Saling mengandalkan itu ternyata tak semudah melepar kartu gapleh yang sering kita mainkan dulu. Tak semudah mengoleskan bedak bayi di muka herdi yang gampang sekali kalah saat main gapleh  dulu. Tak sebebas tertawa lepas bersama kalian dulu. Dunia kita mulai berbeda, terpisah dalam sekat-sekat semu. Walau pun semu tetap saja namanya sekat. Berjarak. Dan aku memilih mundur, pergi. Lari, menjauh.
Semoga saja kalian jadi lebih baik dan berkembang. Setidaknya aku sudah tak lagi membebani kalian, tak lagi menekan kalian, tak lagi menyakiti kalian dengan sikap ku yang egois dan kekanakan. Bukannya lari untuk tak berteman, tapi lari untuk tidak lagi ikut campur terlalu dalam tentang kalian.
Sahabat itu tidak menyakiti.
Sahabat itu memberi senang.
Sahabat itu berbagi.
Sahabat itu bersama.
Sahabat itu saling percaya dan saling melengkapi.
Sahabat itu,……………. tidak ada.

Berjalan lagi, meraba-raba lagi, karena berteman itu bak hukum rimba. Yang kuat yang bertahan, yang lemah akan terbunuh lalu ditinggalkan.

Senin, 27 Februari 2012

Aku Tahu Rasa Sakitnya


            Rasa sakitnya, rasa rindunya, aku tahu…
            Untuk kesekian kalinya aku merasakan hal yang seharusnya tidak aku pedulikan. Rasa sakitnya, rasa ridunya. Ya, jelas saja harus aku abaikan! Siapa dia? Atau dia? Juga dia? Aku sama sekali tak mengenal mereka. Harusnya, sebagai wanita kebanyakan aku tidak suka pada mereka itu, seharusnya tak peduli, malah harus senang. Tapi ternyata tidak.
            Malam itu, untuk kesekian kalinya pula aku sangat penasaran. Wanita yang sedang dekat denganmu -setelah kamu berpisah dengannya yang menggantikan satu wanita setelah aku itu-  sekarang ini membuatku penasaran betul. Dia malah lebih muda satu tahun dariku. Dari segi kecantikan, aku patut berbangga diri darinya. Kulitnya tak lebih putih dariku. Tingginya tak bisa mengalahanku. Dulu kamu sempat bilang “ Dari wanita, aku akan melihat matanya dulu”, dan menurutku matanya tak lebih tajam dariku, tak lebih memiliki “arti”. Tak memancarkan “keterkekangan” yang dulu kamu bilang. Untuk urusan mata yang memancarkan “keterkekangan” ini aku bangga. Pasalnya, aku memang seperti itu, dan kamu membacanya dengan sangat tepat.
 “Takut untuk terbang kan? Jangan takut, aku disini. Kita terbang bersama, bukankah dulu aku memintanya? Temani aku terbang. Hahaha, kenapa aku tahu? Itu terlihat jelas dimatamu sayang…”
Itu yang membuatku bangga, “keterkekangan” ini membuatmu ingin terbang denganku.
            Untuk membunuh rasa penasaranku, aku telusuri lagi akun jejaring sosialnya, dan yap! Aku dapat. Wow, status terbarunya semuanya tentangmu. Aku jadi ingat dulu, bagaimana sangat ‘alay’nya aku mengekspresikan rasa sukaku di setiap status jejaring social. Aku kira saat itu aku tidak alay, dan sekarang, melihat status-statusnya aku merasa sangat alay waktu itu. Aku tutup profilnya, dan kembali ke akun milikku. Malam itu, aku sangat menyesal melihat profilnya, penuh dengan petasan-petasan kecil yang menyulut kenangan aku dan kamu dulu. Aku merasakan senangnya jadi dia. Juga sakitnya, apalagi rindunya.
            Seminggu setelah itu, aku sedang asyik online di notebook kesayanganku. Waktu itu sore hari. Aku keluar kamar kost untuk mengambil jemuranku yang pastinya sudah kering. Aku naik ke “puncak” kamar kostku. Belum aku mengambil jemuranku, aku sudah terpesona saja melihat jingganya langit. Semburat lembayungnya indah, pantulan warna matahari yang sudah lelah itu mengisi seluruh langit, awan-awan cumulus itu terlihat berwibawa, seolah merasa bangga mereka terus saja berarak bak kesatuan TNI di upacara tujuhbelasan. Rapi, harmonis. Dadaku menghenyak, merasakan sakit yang tiba-tiba dan aku langsung berpikir kamu. Senja ini mengingatkanku padamu. Dulu senja jadi saksi bahwa kamu berjanji hanya untuk aku. Hanya aku, tak ada yang lain.
            Aku penasaran lagi. Ku buka profil wanita yang pantas ku sebuk adek itu. Mataku terasa berat, ada sesuatu disana, panas, lalu jatuh. Kamu menyakitinya. Sama seperti kamu menyakitiku dulu. Dan aku merasakan sakitnya, merasakan lumpuhnya dada ini lagi. Empat kali El, empat kali kamu memberikan hal yang sama pada wanita yang menggantungkan harapannya padamu. Sepertinya kejadian itu terjadi 2 hari sebelum aku membuka profilnya lagi. Dan disana muncul update status terbaru darinya. Potongan lagu judika yang memang sekarang sedang hits.
 “ Oh Tuhan tolonglah aku hapuskan rasa cintaku, aku pun ingin bahagia walau tak bersama dia…”
            Aku diam. Merasakan sakitnya, merasakan rindunya yang menyiksa itu. Mau sampai kapan aku terus merasakan hal yang sama hanya karena pengalaman perasaan yang sama seperti itu? Shine On San! Shine On! Tapi tetap saja aku menangis dan memilih bergumul dengan bantal dan selimut kesanyanganku. Memuaskan tangis disana.

………
Kadang aku ingin jadi kamu, yang merasa baik-baik saja setelah meninggalkan.
Aku ingin jadi kamu yang merasa baik-baik saja setelah menyakiti.
Aku ingin jadi kamu yang merasa baik-baik saja meminta maaf lewat sms lalu menghilang begitu saja.
Aku ingin jadi kamu yang merasa baik-baik saja dan melupakan segalanya termasuk janji suci.
………

            Sekarang banyak sekali pertanyaan yang ada di otakku. Pernahkah kamu menyesali perbuatanmu itu? Sempatkah merasa simpati pada kami? Atau sedikit merasakan jadi kami? Ah! Aku harus tak peduli pada perasaan mereka! Aku harus focus pada rasa ku sendiri dan pertanyaan ini harus murni based on my story! Baiklah, aku tak benar-benar mau tahu kenapa kamu melepasku begitu saja dulu. Aku sungguh tak ingin tahu. Pertanyaanku yang berserakan ku rangkum dalam kalimat pertanyaan saja.
Sempatkah kamu merasa kehilangan dan merasakan ribuan rindu membuncah dari hati dan kepalamu? Sempatkah kamu menangis setelah meninggalkanku? Pernahkah kamu menyesal atas perbuatanmu padaku? Pernahkah kamu merasa sakit karena rindu dan mencintai? Jika pernah, aku tak akan bertanya lagi. Mungkin kamu cukup tau rasanya menjadi aku dulu. Jika tidak, kamu akan merasakannya cepat atau lambat.Percayalah.
* aku yakin ini bukan saja pertanyaanku, ini masih pertanyaan ”kami” ahhh Susan..bagaimana kau ini!
Aku menulis ini sambil mendengarkan lagu Someday dari Nina.

Jumat, 03 Februari 2012

Sayang, Dia Mencintaimu.

El, taukah kamu? aku sudah menemukan akun twitternya...ya, cukup mudah ternyata, cari saja namanya di google, lalu muncullah sederet nama beserta akun twitternya. Dan El, tahukah kamu, aku menelusuri timelinenya, sampai 6bulan yang lalu, tepat dimana kamu lupa bahwa aku masih milikmu, maksudku kamu masih milikku. Dia sangat antusias mengenalmu El, sampai bilang dia jatuh cinta sekali padamu! di akun twitternya loh El! sampai memamerkan apa yang telah kau lakukan padanya, me-twit-kan perhatianmu yang detail itu padanya, men-share-kan hatinya yang sudah benar-benar kau ambil saat kau menatap dalam matanya.   Sampai-sampai teman-temannya iri El, sangat iri. Sayang, dia mencintaimu.

Aku bergetar El. Darahku mendidih, tapi aku cuma bisa diam. Kau tahu kan diamku? tentu saja kau tahu, kau selalu mlihatku diam, bahkan saat kau benar-benar menjadikannya kekasihmu.

Rabu, 01 Februari 2012

El, Kau Membuatku Tak Bisa Tidur.


Kamu, yang ada disitu, yang setiap malam, sebelum aku tertidur selalu ku sebut namanya dalam untaian doa-doa malamku, apa kabar? Ya, tertidur, bukan tidur. Karena memang aku sulit tidur setelah mengenalmu.

El, bolehkan aku panggil kamu dengan El, supaya mudah untuk ku ceritakan kisahku yang tokohnya didominasi olehmu. Mengapa El? simpel saja, itu panggilan khusus untukmu, dariku, dulu. Bisa disebut panggilan sayang. Yang setiap ku panggil namamu dengan benar-dan sungguh aku coba benar- tapi tetap saja tak bisa benar karena lidahku memang tak bisa menyebut huruf "r". Dan kamu selalu tertawa dan mengolok-olok ku dengan kespesialan yang ada pada lidahku itu. Tak apa El, aku senang akan olokan mu itu, meskipun aku harus berpura-pura marah agar kau mau membelikanku lolipop warna-warni yang hanya dijual di depan kantormu itu, setiap kali kau meminta maaf atas olokanmu. Ah, El, apa di depan kantormu masih ada lolipopku itu? kalau ada, aku akan sengaja kesana, dan berperan seolah olah aku ini kamu, yang dulu sering sekali membelikannya untukku.

Dari awal kau masuk kantor itu, yang bersebelahan dengan sekolahku, mereka (teman-temanku) selalu membicarakanmu. Aku tak tahu karena aku belum melihat, apalagi mengenalmu. Aku tertawa saja saat aku mencuri dengar bahwa kamu itu sering terlambat masuk kantor. Dengan baju yang masih belum rapih kau tergesa-gesa memasukan motor "Tiger" mu itu ke area pakir yang bisa mereka lihat dari jendela kelas. Ah, ada-ada saja kamu El.
Tak mungkin mereka sesemangatnya itu bergosip tentangmu tanpa sebuah alasan. Tentu, saat aku tanyakan pada mereka, mereka malah menertawakan aku, payah.

Yang benar saja San, kamu ga tahu ya? Coba lihat dia. Dia manis, mempeeeeesona. Hahahhah…..

Aku jadi penasaran juga, dan sekali waktu saat teman-temanku “mengintipmu” lagi, aku juga ikutan.

Oh, itu. Gumamku.
Ya memang ku akui kau itu manis, berkharisma. Dengan perawakan yang kurus tinggi sekitar 175cm  dengan memakai motor “Tiger” kau tampak gagah. Kulitmu tidak hitam, tidak juga putih. Hidungmu mancung, tidak sepertiku. Rambut belah pinggirmu itu, aku suka! Retro tapi menawan, dan apakah kamu tahu? Rambutmulah  yang paling pertama kulihat. Satu kesan mendarat di otaku. Kamu, manis.

Apakah kau mau tahu kebiasaanku setelah melihatmu El? Yup! Tepat! Aku menjadi “golongan” mereka yang selalu membicarakanmu. Aku jadi tahu kalau kamu bekerja sebagai pembantu staff ahli TI di kantor itu. Namamu Rizal Ershan Tsani, S.T., lulusan salah satu universitas swasta ternama di Bandung. Umurmu 23 tahun saat itu. Kamu tinggal tak jauh dari sana. Sekitar 3 Km ke arah pasar tradisional. Dan aku tau letaknya, terhalang oleh 8 rumah dari tugu yang bacaannya begini Lingk. Bbk. Lama II.  Rumahmu bercat putih dan berpagar merah dan dihiasi beraneka tanaman hijau, nice. Soal rumahmu itu, hanya aku yang tau, teman-temanku tak tahu. Tentu aku tahu, kamu sendiri yang membawaku kesana, ingatkan El?

Mungkin Tuhan tau bahwa aku sangat ingin mengenalmu. Dan taraaa…kita kenal, berawal dari sebuah lollipop memang, unik, menurutku. Tak banyak yang tahu kita berdua saling mengenal, hanya satu orang saja, teman dekatku.Oh ya, temanku ini perempuan. Masih ingat kan El? Dia orang yang sering kau hubungi saat aku tak memberimu kabar. Tak banyak yang tahu karena aku memang tak ingin “mereka” tahu. Aku memang egois saat itu, aku sering diam tak banyak komentar saat mereka kembali berbincang ria tentangmu. Aku ingin mereka bosan membicarakanmu lalu kemudian mengabaikanmu dan focus dengan urusan mereka masing-masing. Dan saat itulah aku akan sangat dengan leluasa “mengincarmu”. Ya, kau tahu El, Aku mengincarmu.

Ya El, aku tidak bisa tidur setelah mengenalmu, tak tenang, Rasanya ada ribuan semut mengerombol disini, dada sebelah kiri. Banyak peri-peri kecil yang tega meninju perut ku saat aku menerima pesan darimu. Aku banyak menyendiri dan senyum-senyum sendiri. Ah..apa ini El? Kau tahu? Maklum, aku masih sangat muda, 16 tahun waktu itu.

Hey El, kau tahu apa yang paling menggangguku sampai tak bisa tidur? Senyummu El, ya itu, aku masih bisa membayangkannya. Senyummu adalah hantu pengganggu yang tak pernah ingin aku usir. Senyum mu, ya, pada waktu itu hanya senyummu.