Aku mundur saja, aku menjauh saja, ternyata aku lelah juga. Ternyata
aku tak baik.
Banyak
sekali masalah yang sebenarnya bersumber
dari aku. Ya, kalian tidak salah, aku yang mempersulit diri.
Arfian,
aku sempat sedih saat kamu membagikan pesan itu pada kami; aku, crobi, herdi,
dan Elin. Ya, memang kita sudah lama sekali tak berkumpul bersama.
‘Rindu kekeluargaan seperti dulu’.
Itu katamu. Ya, aku akui kita
banyak sekali disibukan dengan aktivitas masing-masing. Jadwal kuliah yang
padat juga jadwal praktikum kita yang terpisah. Sepertinya jarak kita semakin
melebar karena saat luang aku pakai untuk memeriksa jurnal-jurnal mahasiswa
bimbinganku, kamu juga disibukan dengan kewajibanmu menemani kekasihmu. Dan
disaat itu, karena terlalu focus pada urusan masing-masing kadang keegoisan
kamu itu – yang selalu aku maklumi – seolah semakin menjadi dimataku. Aku jadi
benci kamu, tak suka, dan marah lalu menjauh.
Crobi,
tahukah kamu? Dari awal semester kemarin aku merasa kamu menjauh. Aku dan Elin
sempat bertanya, apakah kamu tak merasa nyaman bergaul bersama kami sehingga
cenderung menjauh dan malas untuk bersama? Oh, iya. Aku akui hoby kita berbeda.
Kamu K-lovers, dan kami biasa saja, malah arfian dan herdi tak menyukainya.
Tapi ya sudahlah, dari awal kita kan sudah berjanji bahwa kita itu bukan geng
yang harus jalan kemana pun bersama. Kita bukan anak SMA lagi kan? Hahaha, lucu
ternyata. Tapi apa rasa ini salah? Cemburu. Perasaan itu semakin menjadi,
kadang menjelma ke arah tak suka jika
kamu berkata, ‘dahh..aku duluan ya, ada urusan dulu sama mereka’. Aku dan Elin
hanya saling bertatap dan dia langsung mengerti. Elin lalu menarik tanganku dan
mengalihkan perhatianku. Berkoar tentang hal yang tak penting yang aku juga
sebenarnya sudah tahu. Bagaimana rasanya jika teman yang sering bersama, lalu
ada orang lain dan dia lebih tertarik dengan orang lain itu. Lalu aku dan yang
lain seperi ‘terabaikan’ . Enak kah?
Sesuai pengalaman yang aku rasakan jawabannya TIDAK. Tapi ku ulangi lagi, ya
sudahlah….
Herdi,
untukmu aku ingin menyampaikan banyak hal. Kamu, ku akui banyak perubahan ke arah
yang lebih baik. Kamu jadi pengajar anak SD dan SMA sekarang. Nambah-nambah
penghasilan kamu bilang. Dengan target 80 hari mencari ‘cita’ itu (walaupun
entah bagaimana kelanjutannya) kamu menjelma menjadi pria yang lebih respect.
Pacarmu juga sangat baik, terimakasih untuk tetap ingin bercerita denganku dan
meminta nasehat ataupun pendapatku dalam urusan mu dengan dia. Tapi Her, kamu
juga harus mempunyai prediksi sendiri. Kamu lebih mengenal dia dibanding aku.
Dan kamu baik-baiklah dengan dia, kataku, dulu. Sepertinya kamu menurutinya.
Kamu semakin asyik dengan pacarmu itu. Tak sempat lagi menemaniku ke warteg
yang murah dan enak itu, atau sekedar menemani duduk-duduk di selasar kampus,
tak sempat menghabiskan ransum yang aku timbun di kamarku itu, tak sempat lagi
melawak garing saat aku sedang kesal, dan bahkan tak sempat lagi belajar
bersama. Kamu sepertinya sibuk. Sangat sibuk.
Elin,
ku lihat akhir-akhir ini kamu berubah. Semakin tak respect. Entah apa yang
sedang kamu pikirkan. Sebagai seorang yang lebih dekat denganmu aku merasa
gagal. Gagal untuk tahu dan menyemangatimu ke arah yang lebih baik. Bukannya
aku tak berusaha. Aku sering mengingatkanmu ‘sering-seringlah baca buku yang
menunjang kuliah, kerjakan tugasmu, jangan ditunda-tunda’ atau memberikan
perhatian dan mengingatkanmu pada kesehatan. Dan aku kesal saat kamu
menyindirku dengan kata-kata yang menyerempet tentang daya tahan tubuhku yang
lemah itu. YA! Aku memang rentan sakit, tapi aku tidak ingin kamu seperti aku.
Bukankah penyakit bisa datang pada siapa saja? Apalagi kalau perut tak diisi,
sekebal apapun seseorang kalau tetap saja tak memperhatikan gaya hidupnya suatu
saat pasti akan tumbang juga. Aku hanya mengingatkan, itu saja. Kamu, yang
sifatnya pendamai selalu saja bilang ‘netral’ pada saat aku sedang kesal pada
seseorang. Ya, bagus. Kamu bisa jadi basa saat aku jadi asam. Bisa jadi asam
saat aku jadi basa, saling menyeimbangkan. Seperti yang sudah aku bilang,kamu
berubah akhir-akhir ini. Jadi pengabai. Saat aku cerita pun kamu cenderung diam
dan hanya berkomentar oh…,em...,wah…. Kamu bukan Elin yang aku kenal, bukan
lagi tepatnya. Aku mencoba untuk menganggapnya baik-baik saja. Tapi aku semakin
merasa tak enak saat memaksakan kehendakku, saat ingin menyampaikan
keinginanku, saat ingin bercerita…..Lalu aku memilih diam, aku lebih memilih
“menutup mata”.
*****
Hey kalian, saat-saat kuliah pun –kadang- tempat
duduk kita berjauhan, aku sering telat masuk kelas karena terlalu lelah dengan aktivitas sebagai asma
(asisten mahasiswa)dan kalian tak menyisakan tempat khusus yang biasanya kalian
siapkan. Atau aku sendiri yang memilih
menjauh dari kalian karena aku sedang sensi.
Untuk Arfian
dan Herdi, kalian jangan berpikir aku cemburu pada kalian karena telah
mempunyai kekasih. Tentu tidak, bukannya dulu aku yang mendukung kalian dan
setuju kalian menjalin kasih dengan
pilihan kalian itu? Aku hanya merasa kesepian.
Ya, seperti itu, tidak ada lagi yang merecoki aku lagi. Memang damai
hidup ini setelah kalian berhenti merecokiku. Tapi ada saatnya aku merasa butuh
kalian. Butuh teman, dan kalian tak ada. Hey! Saat aku menulis kalimat ini
tiba-tiba mataku panas! aku menangis!
Aku tahu,
semua ini hanya dari sudut pandangku. Kalian telah nyaman dengan posisi kalian
sekarang, dengan tidak selalu saling bersama seperti dulu mungkin lebih baik.
Mungkin juga aku yang salah, terlalu egois keras kepala dan hanya melihat dari
dalam kotak. Tapi inilah pemahaman mataku yang melihat dengan mata terbuka dan
kadang dengan mata tertutup untuk merasakannya dengan hati. Ah, terlalu banyak
yang aku ingin katakan sampai-sampai aku tidak bisa lagi menulisnya. Terlalu
malas untuk mengingat. Terlalu malas untuk menceritakannya.
Ya, aku lelah.
Percaya itu ternyata susah. Saling mengandalkan itu ternyata tak semudah
melepar kartu gapleh yang sering kita mainkan dulu. Tak semudah mengoleskan
bedak bayi di muka herdi yang gampang sekali kalah saat main gapleh dulu. Tak sebebas tertawa lepas bersama
kalian dulu. Dunia kita mulai berbeda, terpisah dalam sekat-sekat semu. Walau
pun semu tetap saja namanya sekat. Berjarak. Dan aku memilih mundur, pergi.
Lari, menjauh.
Semoga saja
kalian jadi lebih baik dan berkembang. Setidaknya aku sudah tak lagi membebani
kalian, tak lagi menekan kalian, tak lagi menyakiti kalian dengan sikap ku yang
egois dan kekanakan. Bukannya lari untuk tak berteman, tapi lari untuk tidak
lagi ikut campur terlalu dalam tentang kalian.
Sahabat itu
tidak menyakiti.
Sahabat itu
memberi senang.
Sahabat itu
berbagi.
Sahabat itu
bersama.
Sahabat itu
saling percaya dan saling melengkapi.
Sahabat itu,…………….
tidak ada.
Berjalan lagi,
meraba-raba lagi, karena berteman itu bak hukum rimba. Yang kuat yang bertahan,
yang lemah akan terbunuh lalu ditinggalkan.