CLICK HERE FOR FREE BLOG LAYOUTS, LINK BUTTONS AND MORE! »

Kamis, 27 Desember 2012

4 Bulan yang Lalu


Sudah 4 bulan berlalu. Masih saja Ayah selalu menanyakan hal yang sama tiap aku pulang ke rumah.
  “Masih sama si guru itu?”. Aku menggeleng pelan, malas.
 “Ah, bohong..” katanya tak percaya. Kali ini aku harus bersumpah untuk meyakinkan beliau. Aku sebut nama Tuhan sambil mengacungkan 2 jariku. Ayah lalu bilang “awas”. Aku tersenyum, Ayah tersenyum. Dan aku yakin ayah tak sepenuhnya percaya bahwa aku sudah “kembali”.
            4 bulan yang lalu, mataku bengkak. Efek semalaman menangis dan tidur menjelang subuh. Aku tak berani keluar kamar karena takut seisi rumah bertanya kenapa aku bisa jadi seperti itu. Aku memutuskan melanjutkan tidur saja sampai siang, tapi rencana ku gagal sesaat sebelum aku hendak melakukannya. Ayah mengetuk pintu. Aku pura-pura tak mendengar. Ayah mengetuk lagi dengan lebih keras dan cepat.
            “Anak gadis ga boleh bangun siang, jodohnya ntar dipatok tetangga!”
            “Apa sih yah?!”
            “Kamu gak solat Neng?”
            “ Lagi engga yah… ini masih ngantuk. Pengen tidur lagi. Oke?” kataku dengan nada meminta kesepakatan.
            “Bangun lah…kebiasaan nantinya, ayo buka! Mandi sana.”
            Aku tak bisa membantah Ayah. Tapi aku tak berani keluar dan menampakkan diri pada Ayah dengan keadaan seperti ini. Ku tarik sarung terdekat yang biasa ku pakai tidur, lalu ku pakai menutupi wajahku hingga tampak bibirku saja. Aku membuka pintu “Iya ini udah…oke?”. Ayah membuka sarungku, susah payah aku pertahankan agar mataku tak tampak olehnya, tapi percuma. Ayah yang mantan atlet renang itu tenaganya memang besar. Aku kalah. Ayah melihat mataku,lalu matanya seperti berkata : Ada apa? Ayo cerita.
            Seusai mandi, ayah mengajakku ngobrol di beranda rumah. Aku cukup bangga pada beranda rumahku. Suasananya nyaman, menenangkan. Banyak pot-pot berdaun hijau berjajar membentuk pola-pola unik kesukaan Ibu. Sering sekali aku mengajak teman-temanku yang berkunjung untuk mengobrol di sini. Aku duduk disebelah ayah sambil membawa secangkir teh untuknya.
            Aku diam, aku bukan orang yang suka membuka pembicaraan terlebih dahulu, apalagi untuk urusan ini. Aku takut, malas bercerita pula. Karena dengan bercerita aku harus mengingat, dan mengingat apa yang membuatku nyeri adalah suatu penyiksaan tersendiri.
Aku membiarkan Ayah membuatku bercerita dengan caranya. Tidak langsung ke pokok cerita, mengalir saja. Sampai pada titik dimana aku tidak bisa lagi menjawab pertanyaan Ayah. Tenggorokankku tercekat. Seperti ada sesuatu yang membuat lidahku kelu dan bibirku tidak bisa bergerak. Tanganku saling mengepal resah dan mataku berusaha keras membendung desakan air mata yang meminta dikeluarkan dari pembuluhnya.
“Ya..aa… Udahan…Pu..Putus” jawabku parau.
“yang mutusin?” Tanya Ayah penasaran.
“Dia” jawabku mantap.
“bagus.”
“Ko bagus Yah? Harusnya kan cewe yang mutusin.”
“kata siapa harus seperti itu?”
“ya kesannya kan kaya aku yang salah, dia yang bener”
“ memang kamu ngerasa bener?”
“ya engga juga sih, tapi kan..tapi..ah, ya gitu deh Yah susah! Dia tuh egois banget, sepihak banget!”
“ Udah tau dia egois, masih aja ditangisin. Dengan dia membuat keputusan yang seperti itu artinya kamu sudah terbebas dari segala apa yang membuat kamu menderita. Coba kalo nungguin kamu yang mutusin, mau kapan putusnya? Mau kapan udahan nangis tiap minggunya? Emangnya Ayah ga tahu kamu tuh kadang nangis, kadang ketawa-ketawa sendiri. Itu ga baik Neng.”
“Dia ko bisa segampang itu, setega itu, secepat itu mutusin aku. Aku ga habis pikir aja Yah. Aku tuh bodoh banget!”
“Tuh, kamu ngerasa sakit itu bukan karena dianya, tapi karena nyeselin keputusan-keputusan yang udah kamu ambil buat “bela-bela-in” dia yang pada akhirnya nyakitin kamu.”
Ya, saat itu aku diam. Diam. Diam. Diam. Lalu, perlahan aku menangis, pelan. Makin lama makin menjadi. Ayah memelukku. “ Jika memang menyakitkan, bukan dia orangnya Neng” bisikknya menenangkan.
Ya, sudah 4 bulan berlalu. Sejak saat itu aku berusaha mengalihkan perhatian dengan berbagai macam kesibukkan. Acara himpunan, acara social, ngajar, dan banyak lagi. Aku hanya ingin bergerak. Walaupun aku tak tahu aku bergerak untuk apa, untuk siapa. Aku tidak tahu aku sekarang berlari untuk siapa, berlari kemana. Aku hanya ingin terlihat bergerak. Walau tak tahu bergerak kemana. Ya, Ayah menangkap hal itu. Menangkap kelimpungan jiwaku akan arah.

4 komentar:

Siro mengatakan...

Move on is the best thing you can do,. :D

susan mengatakan...

ahahha...siaap :))

Siro mengatakan...

Fighting susan ! :D
Ditunggu kunjungannya di http://review-siro.blogspot.com/

Unknown mengatakan...

move on kak dia bukan yang terbaik , sayang air mata buangbuang waktu buat ditangisin ,, ayah bener :)

Posting Komentar