Sudah 4 bulan
berlalu. Masih saja Ayah selalu menanyakan hal yang sama tiap aku pulang ke
rumah.
“Masih sama si guru itu?”. Aku menggeleng pelan, malas.
“Ah,
bohong..” katanya tak percaya. Kali ini aku harus bersumpah untuk meyakinkan
beliau. Aku sebut nama Tuhan sambil mengacungkan 2 jariku. Ayah lalu bilang
“awas”. Aku tersenyum, Ayah tersenyum. Dan aku yakin ayah tak sepenuhnya
percaya bahwa aku sudah “kembali”.
4 bulan yang lalu, mataku bengkak. Efek semalaman menangis dan tidur menjelang
subuh. Aku tak berani keluar kamar karena takut seisi rumah bertanya kenapa aku
bisa jadi seperti itu. Aku memutuskan melanjutkan tidur saja sampai siang, tapi
rencana ku gagal sesaat sebelum aku hendak melakukannya. Ayah mengetuk pintu.
Aku pura-pura tak mendengar. Ayah mengetuk lagi dengan lebih keras dan cepat.
“Anak gadis ga boleh bangun siang, jodohnya ntar dipatok tetangga!”
“Apa sih yah?!”
“Kamu gak solat Neng?”
“ Lagi engga yah… ini masih ngantuk. Pengen tidur lagi. Oke?” kataku dengan
nada meminta kesepakatan.
“Bangun lah…kebiasaan nantinya, ayo buka! Mandi sana.”
Aku tak bisa membantah Ayah. Tapi aku tak berani keluar dan menampakkan diri
pada Ayah dengan keadaan seperti ini. Ku tarik sarung terdekat yang biasa ku
pakai tidur, lalu ku pakai menutupi wajahku hingga tampak bibirku saja. Aku
membuka pintu “Iya ini udah…oke?”. Ayah membuka sarungku, susah payah aku
pertahankan agar mataku tak tampak olehnya, tapi percuma. Ayah yang mantan
atlet renang itu tenaganya memang besar. Aku kalah. Ayah melihat mataku,lalu
matanya seperti berkata : Ada apa? Ayo cerita.
Seusai mandi, ayah mengajakku ngobrol di beranda rumah. Aku cukup bangga pada
beranda rumahku. Suasananya nyaman, menenangkan. Banyak pot-pot berdaun hijau
berjajar membentuk pola-pola unik kesukaan Ibu. Sering sekali aku mengajak
teman-temanku yang berkunjung untuk mengobrol di sini. Aku duduk disebelah ayah
sambil membawa secangkir teh untuknya.
Aku diam, aku bukan orang yang suka membuka pembicaraan terlebih dahulu,
apalagi untuk urusan ini. Aku takut, malas bercerita pula. Karena dengan
bercerita aku harus mengingat, dan mengingat apa yang membuatku nyeri adalah
suatu penyiksaan tersendiri.
Aku
membiarkan Ayah membuatku bercerita dengan caranya. Tidak langsung ke pokok
cerita, mengalir saja. Sampai pada titik dimana aku tidak bisa lagi menjawab
pertanyaan Ayah. Tenggorokankku tercekat. Seperti ada sesuatu yang membuat
lidahku kelu dan bibirku tidak bisa bergerak. Tanganku saling mengepal resah
dan mataku berusaha keras membendung desakan air mata yang meminta dikeluarkan
dari pembuluhnya.
“Ya..aa…
Udahan…Pu..Putus” jawabku parau.
“yang
mutusin?” Tanya Ayah penasaran.
“Dia”
jawabku mantap.
“bagus.”
“Ko
bagus Yah? Harusnya kan cewe yang mutusin.”
“kata
siapa harus seperti itu?”
“ya
kesannya kan kaya aku yang salah, dia yang bener”
“
memang kamu ngerasa bener?”
“ya
engga juga sih, tapi kan..tapi..ah, ya gitu deh Yah susah! Dia tuh egois
banget, sepihak banget!”
“
Udah tau dia egois, masih aja ditangisin. Dengan dia membuat keputusan yang
seperti itu artinya kamu sudah terbebas dari segala apa yang membuat kamu
menderita. Coba kalo nungguin kamu yang mutusin, mau kapan putusnya? Mau kapan
udahan nangis tiap minggunya? Emangnya Ayah ga tahu kamu tuh kadang nangis,
kadang ketawa-ketawa sendiri. Itu ga baik Neng.”
“Dia
ko bisa segampang itu, setega itu, secepat itu mutusin aku. Aku ga habis pikir
aja Yah. Aku tuh bodoh banget!”
“Tuh,
kamu ngerasa sakit itu bukan karena dianya, tapi karena nyeselin
keputusan-keputusan yang udah kamu ambil buat “bela-bela-in” dia yang pada
akhirnya nyakitin kamu.”
Ya,
saat itu aku diam. Diam. Diam. Diam. Lalu, perlahan aku menangis, pelan. Makin
lama makin menjadi. Ayah memelukku. “ Jika memang menyakitkan, bukan dia
orangnya Neng” bisikknya menenangkan.
Ya,
sudah 4 bulan berlalu. Sejak saat itu aku berusaha mengalihkan perhatian dengan
berbagai macam kesibukkan. Acara himpunan, acara social, ngajar, dan banyak
lagi. Aku hanya ingin bergerak. Walaupun aku tak tahu aku bergerak untuk apa,
untuk siapa. Aku tidak tahu aku sekarang berlari untuk siapa, berlari kemana.
Aku hanya ingin terlihat bergerak. Walau tak tahu bergerak kemana. Ya, Ayah
menangkap hal itu. Menangkap kelimpungan jiwaku akan arah.