Rasa
sakitnya, rasa rindunya, aku tahu…
Untuk kesekian kalinya aku merasakan
hal yang seharusnya tidak aku pedulikan. Rasa sakitnya, rasa ridunya. Ya, jelas
saja harus aku abaikan! Siapa dia? Atau dia? Juga dia? Aku sama sekali tak
mengenal mereka. Harusnya, sebagai wanita kebanyakan aku tidak suka pada mereka
itu, seharusnya tak peduli, malah harus senang. Tapi ternyata tidak.
Malam itu, untuk kesekian kalinya
pula aku sangat penasaran. Wanita yang sedang dekat denganmu -setelah kamu
berpisah dengannya yang menggantikan satu wanita setelah aku itu- sekarang ini membuatku penasaran betul. Dia
malah lebih muda satu tahun dariku. Dari segi kecantikan, aku patut berbangga
diri darinya. Kulitnya tak lebih putih dariku. Tingginya tak bisa mengalahanku.
Dulu kamu sempat bilang “ Dari wanita, aku akan melihat matanya dulu”, dan
menurutku matanya tak lebih tajam dariku, tak lebih memiliki “arti”. Tak
memancarkan “keterkekangan” yang dulu kamu bilang. Untuk urusan mata yang
memancarkan “keterkekangan” ini aku bangga. Pasalnya, aku memang seperti itu,
dan kamu membacanya dengan sangat tepat.
“Takut
untuk terbang kan? Jangan takut, aku disini. Kita terbang bersama, bukankah
dulu aku memintanya? Temani aku terbang. Hahaha, kenapa aku tahu? Itu terlihat
jelas dimatamu sayang…”
Itu yang
membuatku bangga, “keterkekangan” ini membuatmu ingin terbang denganku.
Untuk membunuh rasa penasaranku, aku
telusuri lagi akun jejaring sosialnya, dan yap! Aku dapat. Wow, status
terbarunya semuanya tentangmu. Aku jadi ingat dulu, bagaimana sangat ‘alay’nya
aku mengekspresikan rasa sukaku di setiap status jejaring social. Aku kira saat
itu aku tidak alay, dan sekarang, melihat status-statusnya aku merasa sangat
alay waktu itu. Aku tutup profilnya, dan kembali ke akun milikku. Malam itu,
aku sangat menyesal melihat profilnya, penuh dengan petasan-petasan kecil yang
menyulut kenangan aku dan kamu dulu. Aku merasakan senangnya jadi dia. Juga
sakitnya, apalagi rindunya.
Seminggu setelah itu, aku sedang
asyik online di notebook kesayanganku. Waktu itu sore hari. Aku keluar kamar
kost untuk mengambil jemuranku yang pastinya sudah kering. Aku naik ke “puncak”
kamar kostku. Belum aku mengambil jemuranku, aku sudah terpesona saja melihat
jingganya langit. Semburat lembayungnya indah, pantulan warna matahari yang
sudah lelah itu mengisi seluruh langit, awan-awan cumulus itu terlihat
berwibawa, seolah merasa bangga mereka terus saja berarak bak kesatuan TNI di
upacara tujuhbelasan. Rapi, harmonis. Dadaku menghenyak, merasakan sakit yang
tiba-tiba dan aku langsung berpikir kamu. Senja ini mengingatkanku padamu. Dulu
senja jadi saksi bahwa kamu berjanji hanya untuk aku. Hanya aku, tak ada yang
lain.
Aku penasaran lagi. Ku buka profil
wanita yang pantas ku sebuk adek itu.
Mataku terasa berat, ada sesuatu disana, panas, lalu jatuh. Kamu menyakitinya.
Sama seperti kamu menyakitiku dulu. Dan aku merasakan sakitnya, merasakan
lumpuhnya dada ini lagi. Empat kali El, empat kali kamu memberikan hal yang
sama pada wanita yang menggantungkan harapannya padamu. Sepertinya kejadian itu
terjadi 2 hari sebelum aku membuka profilnya lagi. Dan disana muncul update
status terbaru darinya. Potongan lagu judika yang memang sekarang sedang hits.
“ Oh Tuhan tolonglah aku hapuskan rasa
cintaku, aku pun ingin bahagia walau tak bersama dia…”
Aku diam. Merasakan sakitnya,
merasakan rindunya yang menyiksa itu. Mau sampai kapan aku terus merasakan hal
yang sama hanya karena pengalaman perasaan yang sama seperti itu? Shine On San!
Shine On! Tapi tetap saja aku menangis dan memilih bergumul dengan bantal dan
selimut kesanyanganku. Memuaskan tangis disana.
………
Kadang aku ingin jadi kamu, yang
merasa baik-baik saja setelah meninggalkan.
Aku ingin jadi kamu yang merasa
baik-baik saja setelah menyakiti.
Aku ingin jadi kamu yang merasa
baik-baik saja meminta maaf lewat sms lalu menghilang begitu saja.
Aku ingin jadi kamu yang merasa
baik-baik saja dan melupakan segalanya termasuk janji suci.
………
Sekarang
banyak sekali pertanyaan yang ada di otakku. Pernahkah kamu menyesali perbuatanmu
itu? Sempatkah merasa simpati pada kami? Atau sedikit merasakan jadi kami? Ah!
Aku harus tak peduli pada perasaan mereka! Aku harus focus pada rasa ku sendiri
dan pertanyaan ini harus murni based on my story! Baiklah, aku tak benar-benar
mau tahu kenapa kamu melepasku begitu saja dulu. Aku sungguh tak ingin tahu.
Pertanyaanku yang berserakan ku rangkum dalam kalimat pertanyaan saja.
Sempatkah kamu merasa
kehilangan dan merasakan ribuan rindu membuncah dari hati dan kepalamu?
Sempatkah kamu menangis setelah meninggalkanku? Pernahkah kamu menyesal atas
perbuatanmu padaku? Pernahkah kamu merasa sakit karena rindu dan mencintai?
Jika pernah, aku tak akan bertanya lagi. Mungkin kamu cukup tau rasanya menjadi
aku dulu. Jika tidak, kamu akan merasakannya cepat atau lambat.Percayalah.
* aku yakin ini bukan saja
pertanyaanku, ini masih pertanyaan ”kami” ahhh Susan..bagaimana kau ini!
Aku menulis ini sambil mendengarkan lagu Someday dari Nina.
0 komentar:
Posting Komentar